Mengapa Perang Terjadi? Menyingkap Kepentingan di Balik Konflik Global
Perang, sejak ribuan tahun silam, telah menjadi bagian dari sejarah umat manusia. Dari perang perebutan wilayah antarsuku hingga konflik global berskala dunia, perang kerap dianggap sebagai kegagalan diplomasi. Namun, benarkah perang hanya sekadar letusan emosi kolektif atau reaksi spontan terhadap ancaman? Atau justru ada sesuatu yang lebih dalam seperti kepentingan tersembunyi dari kelompok politik, ekonomi, dan sosial yang menggerakkan konflik secara sistematis?
Mari kita telaah.
1. Motif Utama Terjadinya Perang
Secara historis dan ilmiah, perang biasanya dipicu oleh lima motif utama:
a. Perebutan Sumber Daya
Air, tanah, minyak, dan bahan tambang sering jadi penyulut perang. Contohnya, invasi Irak ke Kuwait tahun 1990 sangat berkaitan dengan kepentingan minyak. Dalam konteks modern, sumber daya bisa juga berbentuk teknologi, energi, dan bahkan data.
b. Ekspansi Wilayah dan Kekuasaan
Sejak zaman kerajaan hingga era kolonial, memperluas wilayah dianggap sebagai simbol kejayaan. Modernisasi tidak menghapus naluri ini, hanya mengubah bentuknya. Kini, "invasi" bisa dilakukan secara politik, ekonomi, atau digital, namun motif dasarnya masih sama: dominasi.
c. Perbedaan Ideologi dan Agama
Perang Dingin (Cold War) bukan perang fisik terbuka, tapi konflik ideologis antara kapitalisme dan komunisme. Demikian pula, banyak konflik di Timur Tengah memiliki lapisan ideologis dan sektarian, yang dipakai untuk membungkus agenda geopolitik.
d. Kepentingan Politik Dalam Negeri
Kadang, pemimpin yang sedang mengalami krisis legitimasi dalam negeri "menciptakan musuh luar" untuk menyatukan rakyat dan mengalihkan perhatian. Ini dikenal sebagai diversionary war theory. Dengan kata lain: saat dapur panas, cari musuh bersama.
e. Balas Dendam dan Dendam Sejarah
Sejarah tidak pernah mati. Luka masa lalu bisa diwariskan lintas generasi, menjadi alasan untuk membalas. Konflik Israel-Palestina, India-Pakistan, hingga Balkan adalah contoh bagaimana dendam sejarah menjadi bara yang tak padam.
2. Kepentingan Tersembunyi: Siapa Diuntungkan dari Perang?
Pertanyaan kritis: jika perang menghancurkan begitu banyak kehidupan, siapa yang diuntungkan?
a. Kelompok Ekonomi: Kompleks Industri-Militer
Perusahaan senjata, kontraktor militer, hingga perusahaan konstruksi dan minyak sering jadi “penikmat perang.” Perang menciptakan pasar senjata, rekonstruksi infrastruktur, dan penjarahan sumber daya. Dalam kasus tertentu, perang adalah bisnis besar.
"War is a racket," kata Jenderal Smedley Butler, pahlawan perang AS yang kemudian membongkar sisi korporat di balik perang.
b. Elit Politik dan Oligarki
Perang bisa memperkuat rezim yang berkuasa, memperpanjang masa jabatan, atau memperkuat kendali terhadap media dan rakyat atas nama “keamanan nasional.” Retorika nasionalisme sering dimanfaatkan untuk membungkam kritik dan menjustifikasi represi.
c. Aliansi Global dan Negara Asing
Perang lokal sering menjadi pion dalam papan catur global. Negara besar menggunakan konflik di negara kecil sebagai proxy war. Contohnya: perang Suriah menjadi ajang pertarungan tak langsung antara AS, Rusia, Iran, dan Turki.
d. Manipulasi Sosial: Menciptakan Musuh untuk Persatuan
Secara sosiologis, menciptakan "musuh luar" memperkuat kohesi internal. Ketakutan bisa menguatkan identitas nasional atau sektarian, dan ini sangat berguna bagi aktor-aktor politik yang ingin mengonsolidasikan kekuasaan.
3. Aspek Sosial dan Psikologis: Perang sebagai Cermin Kegagalan
Tak semua perang dimulai dari kalkulasi dingin elit kekuasaan. Terkadang, perang lahir dari ketidakadilan struktural yang dibiarkan terlalu lama: kemiskinan, diskriminasi, pelanggaran hak, atau ketimpangan sosial. Di titik jenuh, rakyat bisa mengangkat senjata karena merasa tidak punya cara lain.
Perang juga bisa dipicu oleh sentimen kolektif: rasa takut, kebencian, superioritas budaya, atau trauma yang tidak disembuhkan.
4. Apakah Perang Bisa Dihindari?
Bisa. Tapi tidak mudah.
Dibutuhkan:
Transparansi politik dan sistem akuntabilitas yang kuat.
Diplomasi cerdas dan berani, bukan hanya basa-basi.
Keadilan sosial, agar akar konflik tidak tumbuh subur.
Literasi kritis masyarakat, agar tidak mudah terprovokasi isu identitas atau hoaks.
Peran media independen, bukan corong propaganda.
Kesimpulan: Perang Tidak Pernah Netral
Perang bukan sekadar bentrokan senjata. Ia adalah manifestasi dari konflik kepentingan yang sering kali disembunyikan dalam narasi-narasi heroik. Ketika peluru ditembakkan, yang jatuh bukan hanya nyawa manusia, tapi juga kebijaksanaan, empati, dan akal sehat.
Maka, dalam setiap perang, penting untuk bertanya:
"Siapa yang benar-benar berperang, siapa yang mati, dan siapa yang menghitung keuntungan?"