Lelucon yang Tidak Lucu: Ketika Tawa Jadi Alat Penindas
"Cuma bercanda, kok."
Kalimat paling sakti untuk melegalkan segalanya. Seolah-olah dengan dua kata itu, seseorang bebas menyentil, menyindir, menelanjangi aib, dan menertawakan luka orang lain, lalu melenggang santai tanpa dosa. Yang tersinggung? Disuruh ngaca. Yang sakit hati? Disuruh belajar humor. Yang murka? "Ih, baper amat sih."
Padahal, ada garis tipis antara ngakak dan ngamuk. Dan kadang, garis itu adalah tubuh seseorang yang sedang mencoba menerima dirinya—dan kita tendang seenaknya demi tawa lima detik.
Lucunya, orang yang paling hobi bercanda seringkali adalah orang yang paling tidak kuat dijadikan bahan candaan balik. Coba kamu sentil sedikit soal rambutnya yang mulai minggat dari dahi, atau status jomblo-nya yang sudah seperti mitos lokal. Eh, langsung senyumnya hilang, urat di leher muncul, dan embusan napasnya seperti uap kompor gas kehabisan tabung.
Kenapa begitu? Karena bagi sebagian manusia, standar bercanda itu seperti remote TV. Hanya dia yang boleh pegang. Orang lain salah pencet sedikit, langsung dianggap menyerang personal. Tapi dia sendiri bebas pencet volume, ganti channel, bahkan matikan TV orang.
Dan kalau dikritik? Tenang, sudah ada senjata pamungkasnya:
"Yah, lu jangan terlalu serius dong."
Padahal kalau kita perhatikan baik-baik, kadang yang terlihat sebagai candaan sebenarnya hanyalah topeng untuk menutupi kebiasaan merendahkan orang lain.
Jadi apa itu lelucon yang tidak lucu?
Itu adalah candaan yang hanya bikin satu orang ketawa, tapi lima orang lainnya belajar memendam sakit hati sambil pura-pura senyum.
Itu adalah kalimat yang dibungkus tawa, tapi isinya cacian.
Itu adalah bahan tertawaan yang tidak tertawa bersama.
Saran?
Sebelum bercanda, cek dulu:
Apakah ini akan lucu kalau diarahkan ke saya?
Apakah ini akan tetap lucu di ulang tahun nenek saya?
Apakah ini akan tetap lucu kalau saya ceritakan ke Tuhan pas shalat nanti?
Kalau ragu—jangan ucapkan.
Kalau sudah terlanjur—minta maaf.
Kalau masih ngotot juga—selamat, kamu bukan pelawak. Kamu bully yang lagi nyamar.
Penutup?
Bercanda itu seni. Tapi jangan jadi seniman yang berkarya dengan melukis luka orang lain. Karena kalau tertawa harus selalu dibayar dengan harga diri orang lain, mungkin itu bukan humor—itu kebiadaban yang diberi soundtrack tawa.