Choky tersesat - Cerita Pendek
Bagian 1 - Choky si Kucing Oren
Bayangkan kamu seekor kucing. Bukan sembarang kucing, tapi kucing rumahan dengan bulu oren menggoda, mata tajam penuh wibawa, dan kumis yang selalu berdiri meskipun angin berhembus dari segala penjuru. Nah, itu aku.
Namaku Choky.
Kenapa namanya Choky? Entahlah, tanya aja sama para babu. Mereka yang kasih nama. Padahal jelas-jelas aku Oren, bukan coklat. Apakah mereka buta warna? Atau mungkin mereka pikir semua nama harus ada unsur cemilan? Entah. Yang jelas aku tetap elegan walau namanya mirip biskuit.
Aku tinggal di rumah yang katanya milik "keluarga kelas menengah atas"—nggak ngerti maksudnya apa. Tapi sarangnya gede, ada halaman, ada kotak besi berkaki bundar, dan kotak dinginnya suka bunyi "nguuuuuung" siang malam. Di situ aku tinggal bersama tiga manusia: Babu kecil (yang sering minta peluk tapi nggak pernah bawa snack), Babu betina (yang suka bilang "ih kucing ngapain di meja"), dan Babu jantan (yang hobinya guling-guling di sofa sambil pegang kotak gepeng berbunyi.. sopi..sopi..).
Bagiku, mereka semua agak aneh, tapi masih bisa diterima. Babu betina rajin nyapu (sayang kadang nyapu aku juga), babu jantan suka nyuapin daging pas aku manja (walau bilang “jangan manja, kamu kucing jantan!” – padahal aku manja karena strategi), dan babu kecil? Ya, dia agak cerewet, tapi sering tumpahin makanan, dan itu harta karun buatku.
Yang aku suka?
Ikan goreng tanpa pengawasan.
Tidur di kardus.
Nonton burung dari balik jendela sambil pasang muka galak.
Yang aku tidak suka?
Tongkat yang bisa nyembur angin (Hair dryer) ...kenapa ada angin panas dari benda sebesar itu?
Babu betina pas lagi nyetrika.
Dan... pintu tertutup. Ugh. Kenapa manusia suka menutup-nutupi jalan hidupku?
Rutinitasku simpel:
Bangun.
Stretching gaya yoga.
Menatap langit-langit sambil mikir makna kehidupan.
Makan (kalau dikasih, kalau enggak ya colong).
Tidur di tempat baru biar misterius.
Mengejar sesuatu yang gak kelihatan, biar manusia mikir rumah ini berhantu.
Aku hidup dengan prinsip:
"Semua makanan adalah milik Tuhan, dan Tuhan menciptakan aku untuk mencicipinya."
Kalau ada yang marah? Ya berarti mereka belum belajar ikhlas.
Dan itulah aku.
Choky. Kucing. Bukan coklat. Tapi Oren. Dan aku bangga.
***
Bagian 2 – Terjebak di Kotak Besi Berkaki bundar
Pagi itu aku bangun seperti biasa. Meringkuk dengan gaya yoga terhebat sepanjang sejarah kucing—dengan kepala di kaki belakang, kaki depan di udara, dan perasaan bahwa aku adalah makhluk paling fleksibel di bumi.
Aku membuka satu mata. Babu jantan sedang sibuk menyiram kotak besi berkaki bulat pakai selang berisik yang suka bikin buluku basah. Entah kenapa manusia sangat cinta menyiksa benda itu. Mereka sabun-sabunin, semprot-semprotin, lap-lapin, kayak lagi merawat bayi. Padahal jelas-jelas itu benda mati, gak punya hati, gak bisa nge-miaw. Aneh.
Karena aku Choky, kucing penuh rasa ingin tahu dan insting petualang... ya, aku masuk.
Diam-diam. Meluncur lewat pintu yang terbuka, lompat ke kursi empuk yang bau-nya kayak pantat babu jantan. Enak juga. Hangat, teduh, dan nggak ada yang teriak "Chokyy jangan injek keyboard!"
Lalu... BLUKKKK
Pintu tertutup.
Mesin bergetar.
Kotak besi berkaki bundar mulai bergerak.
Aku?
Diam.
Beku.
Ngumpet di kolong jok.
Dada deg-degan. Kaki kaku. Ekor nempel ke badan kayak selimut darurat.
Aku tahu ini bukan mimpi. Ini nyata.
Aku... terjebak.
Dan seperti itulah kisah tragis dan kocakku dimulai. Aku, Choky si oren tampan, kucing bermartabat, terjebak dalam kotak berisik manusia, dibawa ke entah berantah.
Setelah entah berapa lama perjalanan penuh goyangan aneh dan bunyi teeetttt (manusia suka sekali bikin suara gak penting), akhirnya pintu terbuka. Cahaya masuk. Aku lihat celah. DAN AKU LOMPAT.
Secepat kilat. Seanggun singa padang savana. Seheroik... ehm, ya pokoknya aku kabur.
Masalahnya...
Aku salah perhitungan.
Begitu kaki menyentuh tanah, aku sadar: tempat ini bau-nya asing.
Enggak ada bau babu kecil yang suka peluk-peluk maksa.
Enggak ada bau bantal kesayanganku yang sering aku injek pas mereka tidur.
Enggak ada bau pot bunga yang jadi tempat meditasiku (dan kadang aku pipisin karena kompetitif).
Semua... asing.
Yang ada cuma...
“GUK! GUK! GUK!”
Suara paling menyebalkan dalam semesta.
Anjing.
Makhluk berisik. Sering ileran. Lari-lari gak jelas kayak kipas rusak.
Dan sekarang mereka berlari ke arahku.
Gigi-gigi jelek mereka kelihatan. Mata mereka melotot.
Salah satu dari mereka—hitam, gendut, dan bernama Anjing (semua anjing aku sebut Anjing, aku gak peduli nama asli mereka)—nempelin hidungnya ke tanah sambil ngendus jejakku.
Astaga... aku resmi kesasar.
Aku, Choky, makhluk paling superior di dunia kucing, hilang arah di dunia penuh manusia asing dan makhluk guguk yang gak ngerti seni hidup damai.
Tapi aku gak akan panik.
Karena panik itu milik manusia.
Aku akan bertahan.
Aku akan cari bau-bau yang familiar.
Aku akan pulang.
Atau minimal...
Aku akan cari makanan dulu. Karena lapar. Dan semua makanan milik Tuhan, jadi seharusnya boleh jadi milik aku juga. Kecuali yang punya marah, ya itu sih nasib. Tapi kalau bisa aku colong? Ya jangan salahkan Tuhan... salahkan mereka yang gak nutupin makanannya.
***
Bagian 3 – Mbul, Si Kucing Abu Gembul
Saat aku sedang menyusuri gang sempit sambil mengendus-endus bau gorengan—bau surga di bumi yang aromanya seperti panggilan ilahi bagi kucing lapar—tiba-tiba muncul sosok besar, bulat, dan... abu-abu.
Dia berdiri di depan warung, menghalangi jalan, dengan posisi kuda-kuda seperti ninja yang belum lulus ujian.
“Miaw... Grrrr...” katanya.
Apa-apaan?
Kucing mana yang nyapa dengan grrrr? Itu bahasa universal untuk, “Ayo gelud!” atau “Aku baru nelen duri ikan!”
Sebagai kucing bermartabat, aku nggak bisa tinggal diam. Ini masalah harga diri.
Aku jawab, “MIAW GGRRRRR!!!”
Dan... BOOM.
Gelud dimulai.
Kami berputar-putar di sekitar gorengan. Meja terbalik, kursi mental, dan tahu isi beterbangan. Kami saling cakar, saling gigit, lalu berhenti bentar pas ayam goreng nyangkut di cakar.
Ya kan, mumpung ada makanan.
Jadi... kami gelud, sambil nyolong gorengan.
Pemilik warung—seorang manusia dengan tatapan kosong dan tangan memegang sapu seperti sedang mempertimbangkan: “Sapu ini buat ngusir kucing atau buat nyapu hidup yang berantakan?”—hanya bisa melihat kami dalam diam.
Setelah beberapa gigitan tempe, dua lembar risoles, dan satu ekor ayam goreng setengah matang, kami... tepar.
Kekenyangan.
Guling-guling.
Lalu... pingsan.
Kami terbangun di atas atap warung, matahari sudah miring, dan angin sore menyapu bulu kami yang belepotan remah bakwan.
“Nama gue Mbul,” katanya tiba-tiba sambil menggaruk perut.
“Oke,” jawabku sambil bersin sisa lada.
Kami diam sesaat. Hening.
Lalu, seperti kucing sejati... kami jadi bestie.
Tak ada yang menyatukan dua makhluk asing secepat perut kenyang dan trauma gorengan bersama.
Miawww!
Aku akhirnya curhat. Tentang babuku. Tentang kotak besi sialan itu. Tentang kampung asing ini. Tentang anjing-anjing brengsek. Tentang bau yang hilang. Tentang... rasa rindu.
Mbul garuk kepala (padahal gak gatal). Lalu berkata bijak, “Kalau kamu mau pulang, kamu harus nemuin si Kucing Tua.”
“Siapa tuh? Dukun?” tanyaku.
“Bukan. Dia kucing. Tapi udah banyak makan asam campur ikan asin.”
“...Asam campur apa?”
“Asam campur ikan asin. Kita gak makan garam kan, jadi diganti. Intinya dia udah berpengalaman. Kayak kucing versi Google Map.”
Aku manggut-manggut. Tapi...
“Jauh nggak?”
Mbul menguap. “Agak. Kita harus lewatin dua kampung. Pertama, Kampung Gukguk.”
Aku langsung syok.
“KAMPUNG APA!?”
“Iya. Kampung penuh Anjing.”
“Aku udah cukup trauma sama satu anjing, ini satu kampung???”
“Tenang. Mereka gampang dialihin... asal kamu bawa sandal. Mereka suka ngejar sandal. Entah kenapa. Mungkin sandal mengingatkan mereka pada mantan.”
Aku menahan tawa dan trauma bersamaan.
“Terus kampung kedua?”
Mbul terlihat sedikit ragu. “Kampung Citcit.”
“Citcit?”
“Tikus. Banyak. Super banyak. Bahkan ada geng yang suka gigit buntut kucing tidur. Mereka... nggak tahu aturan.”
Aku mulai mikir ulang semua keputusan dalam hidupku. Tapi demi aroma kasur rumah dan kibasan tangan babu kecil... aku harus coba.
Dan begitulah...
Aku, Choky, kucing tampan tersesat, bersama Mbul, si gembul absurd, memulai perjalanan absurd melewati dua kampung: satu penuh gonggongan, satu penuh gigitan.
Dan semuanya demi... pulang.
Bagian 4 – Petualangan di Kampung Gukguk (alias Kampung Gonggongan)
Begitu kaki kami menyentuh wilayah itu, suasananya langsung beda. Udara jadi penuh aroma basah, campuran bau rumput, lumpur, dan... mulut gak disikat. Bau itu khas. Bau... gukguk.
Mereka di mana-mana.
Dari balik pagar, dari balik karung, dari dalam gorong-gorong, bahkan ada yang nangkring di atas becak kayak bos preman.
Tiap langkah kami, pasti disambut dengan suara: "GUK! GUK! GUK-GUK-GUK-GUKKK!!!"
Berisik banget.
Aku sempat pengen balik kanan, tapi Mbul tetap jalan santai kayak gak ada apa-apa.
“Tenang, mereka cuma modal suara doang,” katanya.
Dan dia bener.
Setelah lima belas kali digonggongi, aku mulai sadar satu hal penting tentang spesies ini:
Mereka pengecut.
Sukanya rame-rame, tapi giliran satu-satu langsung ciut kaya kantong kresek ketemu api kecil.
Ada yang pas liat kami berdua, langsung minggir sambil pura-pura ngendus tiang. Padahal tiangnya udah ilang aromanya sejak 2007.
Ada juga yang pas kami tatap balik... malah gugup dan masuk tong sampah.
Sumpah demi ikan asin, mereka cuma jago kandang.
Tapi…
Lalu dia datang.
Seekor gukguk besar, moncongnya monyong, badannya segede dispenser isi penuh. Bulu cokelat gelap, telinga berdiri, dan tatapannya...
fix bukan tatapan iseng. Itu tatapan “kalau kamu lari, aku kejar. Kalau kamu diem, aku tetap kejar.”
Kami refleks mundur. Perlahan.
Mbul udah mulai ngitung jumlah nyawa cadangan. Aku mulai doa ala kucing: "Demi Tuhan, bantal empuk dan mangkuk penuh tuna, selamatkan hamba..."
Si gukguk monyong itu... tidak bergeming.
Dia malah maju.
Satu langkah... dua langkah...
Kami mundur.
Tiga langkah... kami terpojok.
KReK.
Kakiku nginjek sesuatu.
Sandal.
Warna biru tua, bentuknya sisa sebelah, bagian ujungnya kayak habis digigit dinosaurus.
Aku panik.
Dan seperti kucing jenius yang tahu bahwa gukguk itu biasanya takut sandal, aku tendang.
Plak!
Sandal terbang.
Mendarat di depan si gukguk.
Dia ngelihatnya.
Lalu mendekat.
Kami menahan napas.
Mbul udah mulai bisik-bisik surat wasiat ke langit.
Lalu... si gukguk itu tersenyum (iya, senyum versi muka monyong) dan berkata:
“Wah! Sandal majikanku yang hilang! Akhirnya ketemu!”
Kami: “...HAH?!”
“Udah lama aku cari ini. Separuhnya ilang... separuh lagi masih di perutku. Hehe.”
APA???
SEPARUHNYA ADA DI PERUTNYA???
Kami langsung refleks mundur tiga langkah sambil nyengir kaku.
“Thanks, ya. Aku mau ngembaliin ini ke majikanku. Biar dia tahu aku tanggung jawab. Walaupun... agak telat sih, udah tiga tahun.”
Lalu dia jalan pergi sambil nyeret sandal itu dengan gigi.
Aku dan Mbul saling tatap.
Terdiam.
Mbul bergumam, “Kita hidup hari ini bukan karena pintar... tapi karena hoki.”
Kami gak buang waktu.
Langsung cabut, lari secepat mungkin keluar dari Kampung Gukguk.
Lewatin pagar, tiang, selokan, dan satu geng gukguk kecil yang langsung minggir kayak daun ketemu blower.
Akhirnya...
Kami berhasil keluar.
Aku tarik napas panjang, lalu berkata dengan penuh makna:
“Gukguk... memang tidak bisa diprediksi. Tapi sandal, sandal selalu punya cerita.”
Bagian 5 – Tikus Kecil-Kecil.
Citcit.
Mahluk mungil, berkumis, dan punya suara cempreng kayak sandal jepit ketimpa silet.
Mereka lemah, lincah, dan pengecut. Tapi cerdiknya...
Astaga, bahkan babuku pernah bilang: “Kalau Choky punya otak kayak tikus, udah jadi sarjana Harvard sekarang.”
Tiap kali aku kejar, mereka lari terbirit-birit. Padahal aku cuma mau ngajak becanda. Ya elah, cuma ngetes kuku doang, bukan langsung digoreng.
Tapi ya gitu... mereka langsung lari sambil teriak, “MAMAAA!!”
Padahal, serius, aku belum pernah makan tikus.
Gengsi dong, masa iya kucing tampan berkelas kayak aku harus ngunyah makhluk yang hobi nyuri mi instan?
Sialnya, karena itu aku sering diceramahi Babu Betina:
> “Chokyyy! Tikus lari-lari di dapur! Malu-maluin jadi kucing! Tau malu kagak lo?!”
Halah.
Dia pikir aku ini suruhan?
Aku bukan pesuruh, aku itu ikon rumah tangga. Hiasan hidup. Pajangan premium.
Lagian, waktu aku sekali-kalinya nangkap tikus... malah drama.
Waktu itu aku udah kunci gerakannya, udah dekat, tinggal hap!
Eh, waktu aku lihat matanya...
Mata Citcit itu gede. Berkaca-kaca. Gemetar.
Dan hatiku...
Hatiku yang penuh estetika dan empati ini gak tega.
Aku lepasin.
Ternyata aku dimodusin.
Citcit itu kabur sambil ketawa kayak penjahat sinetron: “HAHAHAH BEGOOO!!!”
Dan... Babu Betina ngelihat semua kejadian itu.
Dia langsung teriak: “CHOKYYY!! APA-APAAN INI!!!”
Sambil angkat sapu, lompat ke atas kursi kayak ngelawan hantu gentayangan.
Babu kecil? Dia malah ngakak sambil makan keripik. Keluarga absurd.
Tapi itu dulu...
Sekarang...
Aku dan Mbul lagi ada di kampung Citcit.
Dan... ini bukan dunia becandaan.
Mereka... BANYAK.
Dari got, dari lubang tembok, dari bawah pintu...
Citcit-citcit bermunculan.
Ada yang bawa pipet. Ada yang bawa roti basi. Ada yang kayaknya bawa pemukul mini (entah dari mana).
Dan... mereka semua ngeliatin kami.
Dikepung.
Mbul?
Yang biasanya bilang, “Aku doyan tikus!”
Sekarang malah gemetaran kayak jelly kedudukin anak gajah.
Lalu...
Tap... Tap... Tap...
Langkah pelan.
Muncul seekor citcit tua.
Bulu putih lusuh, mata cuma satu, tubuh gemuk tapi wibawa—kayak kalau Dumbledore dan tikus kawin silang.
Dia berdiri di atas kaleng sarden, tatap kami dalam-dalam, lalu berkata:
“Mau apa kalian kemari?”
Aku cepat jawab, “Kami cuma numpang lewat, Mbah! Jujur! Sumpah demi Whiskas rasa salmon!”
“Mau ke mana?”
“Kami... mau ke tempat kucing tua. Tersesat. Mau tanya arah jalan pulang...”
Aku mulai cerita. Tentang rumah, tentang babu cerewet, tentang kasur empuk, dan mangkuk makan yang selalu penuh (kalau aku ngambek baru diisi).
Citcit tua itu diam...
Lalu berkata lirih:
“Ceritamu... mengingatkanku pada majikanku dulu. Waktu kecil aku sering digendong, disuapin dan diciumin... Manusia yang baik... tapi sudah lama meninggal. Sejak itu aku sendirian... hingga akhirnya aku jadi raja para citcit di selokan ini.”
Aku terharu. Mbul hampir nangis.
Citcit-citcit lain juga tampak melow.
Cuma satu citcit di pojok yang masih makan lem karet.
Si Mbah mendekat... lalu cium bau badan kami.
Hidungnya mengendus kayak detektor dosa.
“Dari baumu... kalian belum pernah makan citcit.”
“Jadi kalian kubebaskan. Tapi... ada syaratnya. Kalian harus bersumpah tidak akan makan citcit dengan sengaja.”
Aku dan Mbul saling tatap.
Lalu aku angguk. “Baik. Kami bersumpah.”
Mbul menambahkan:
“Kami tidak akan makan citcit kota... karena baunya.”
Citcit tua langsung nyipitkan mata satunya.
“Bukan cuma citcit kota. Semua citcit.”
Mbul mikir.
Lalu angkat tangan. “Kalau kita makan snack, terus ternyata isinya ada daging tikus... itu gak sengaja, kan?”
Citcit tua: “Gak apa.”
Mbul: “Kalau kita tidur... mulut kebuka... terus ada tikus nyelonong masuk... ketelan... itu juga gak sengaja, kan?”
Citcit tua mulai ngos-ngosan: “Gak apa... asal beneran gak sengaja...”
Mbul: “Kalau—”
“KALAU LO GUE MAKAN SEKARANG GIMANA?!”
teriak seekor citcit besar dari belakang. Suara cempreng tapi galak.
Mbul langsung kaku.
Keringat dingin.
Bibinya gemetar kayak sinyal wifi di basement.
“A-a-aku... yaudah deh... kita pergi aja, ya?”
Aku tarik Mbul pelan-pelan. “Terima kasih ya, Mbah... terima kasih semuanya.”
Kami mundur teratur.
Setelah cukup jauh, Mbul nyeletuk: “Gue sumpah... sejak sekarang snack rasa ayam aja deh.”
Aku hanya mengangguk.
Hening.
Dan diam-diam...
Aku lega.
Aku gak perlu menodai kuku ini dengan darah citcit. Karena aku bukan predator...
Aku adalah... Choky. Kucing berprinsip.
---
Bagian 6. Burung Bawel, Kucing Tua, dan Kucing Hilang
Angin sore menampar lembut bulu Choky yang mulai lepek karena perjalanan panjang. Dia dan Mbul baru saja melewati selokan tempat Citcit menguasai peradaban gelap bawah tanah. Sekarang mereka berjalan di bawah langit jingga yang mulai mengantuk, menyusuri tembok dan genteng rumah orang demi mencari satu makhluk legendaris: Kucing Tua.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba…
“Mau kemana, eh?”
Suaranya cempreng dan nyaring, lebih nyaring dari suara panci jatuh tengah malam.
Choky mendongak. Seekor burung beo berbulu hitam legam bertengger di antena TV rumah tetangga. Paruhnya tajam, matanya tajam, dan mulutnya lebih tajam lagi. Beo ini bukan sembarang beo, ini beo pensiunan dari warung kopi, sudah kenyang dengerin drama rumah tangga, politik, dan sinetron jam lima sore.
“Mau nyari Kucing Tua,” jawab Choky dengan nada lelah.
“Mau apa?”
“Tanya jalan pulang.”
Beo langsung ketawa ngakak. Suaranya kayak klakson angkot nabrak tong gas.
“Jalan pulang? ALAM BEBAS ADALAH RUMAHMU, BUNG!” katanya seperti orator demo yang tidak diundang.
Choky memicing. “Rumah babu. Gue mau balik ke rumah babu.”
Burung beo makin ngakak.
“Hahaha! Banyak binatang pengen bebas dari manusia, lu malah nyari kandang? Lu sadar nggak sih? Mereka itu bukan babu lu. Lu itu peliharaan mereka, bukan majikan. Lu cuma... ya, piaraan lucu yang dibeli pake diskon di petshop.”
JLEB.
Kata-kata itu nusuk. Kayak dicakar kucing mantan.
Choky diam. Pandangannya kosong menatap cakrawala. Kepalanya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan eksistensial.
“Gue ini siapa? Gue lahir buat jadi bebas... Tapi gue nyaman sama kasur empuk, bau sabun cuci piring, dan suara babu nyanyi-nyanyi palsu di dapur. Apakah gue kucing gagal?”
Sementara itu, Mbul cuma ngunyah plastik bekas gorengan yang ditemuin di bawah. “Ribet amat sih lu, Chok. Mau balik ya balik aja, kagak usah drama…”
Choky mendesah. Tapi langkahnya tetap maju.
Meski goyah, dia tetap jalan.
Sampai akhirnya, mereka tiba di sebuah rumah tua berlantai tiga. Di pucuk tertingginya, di atas genteng yang sudah keropos, duduklah sesosok makhluk legendaris: Kucing Tua.
Bulu putihnya sudah penuh uban. Telinganya compang-camping, satu matanya buram, dan ekornya bengkok. Tapi tatapannya… dalam. Dalam kayak lubang tempat tikus ngumpet.
Kucing Tua tidak langsung menyapa. Dia hanya mengedip pelan, seperti tahu siapa yang datang bahkan sebelum mereka memperkenalkan diri.
Choky dan Mbul mendongak, terdiam. Entah karena kagum, takut, atau karena kelelahan. Tapi satu yang pasti, mereka tahu—perjalanan mereka belum selesai. Tapi jawaban, mungkin ada di atas sana.
Dan mungkin... jawaban itu bukan sekadar arah pulang. Tapi tentang kenapa mereka ingin pulang.
Bagian 7: Kucing Tua dan Peta yang Tidak Pasti
Kucing Tua duduk di atas tumpukan genteng seperti raja yang sedang merenung, atau lebih tepatnya, seperti sesepuh yang lupa udah ngomong apa barusan. Matanya setengah terbuka, setengahnya lagi tidur siang. Saat Choky dan Mbul sampai di hadapannya, suasana jadi seperti seminar spiritual tanpa kopi dan snack.
"Namamu... Choky," ujar si Kucing Tua, suaranya berat dan pelan, seperti suara mesin cuci yang udah minta pensiun.
Choky manggut-manggut penuh hormat. Mbul nyari tempat buat selonjoran.
"Aku tahu kenapa kau datang... Kau mencari rumahmu," lanjut si Kucing Tua.
"Iya, saya nyasar, Opa," jawab Choky.
"Hm. Rumahmu terlalu jauh... Aku tidak bisa menciumnya."
Choky mengerutkan dahi. "Hah?"
"Rumah seekor kucing bisa dikenali dari baunya... Tapi bau rumahmu tidak sampai ke hidungku. Bisa jadi... rumahmu berada di seberang sungai."
"Sungai?" Choky melongo.
"Ya. Sungai di timur kota. Sungai itu seperti... perbatasan antara dunia kucing kenyang dan dunia kucing nyasar. Jika kau ingin tahu apakah rumahmu ada di sana, kau harus menyeberanginya."
Choky diam. Mbul udah setengah ketiduran di sebelah, ngorok pelan kayak mesin kipas rusak.
"Tapi," lanjut si Kucing Tua sambil menjilat kaki depan dengan gaya bijak, "Aku tidak menjamin apa pun. Bisa jadi kau menemukannya. Bisa juga... kau malah tambah nyasar. Bahkan, bisa jadi... kau menemukan sesuatu yang bukan rumah, tapi terasa seperti rumah."
Choky mulai pusing. Filosofi kucing ternyata lebih membingungkan dari teori relativitas. Tapi ia menelan semua kata-kata itu mentah-mentah seperti ikan asin, asin tapi bikin ketagihan.
"Jadi saya harus ke sungai?"
"Ya. Ke arah timur. Jalan terus sampai bau klorin pabrik dan bau tahu goreng bersatu jadi satu. Di sanalah sungainya."
Choky menatap ke arah timur. Sinar matahari sore menyinari wajahnya seperti efek film indie murahan.
Mbul bangun, ngulet, dan nyeletuk:
"Sungai itu jauh gak sih? Ada tukang cilok nggak di jalan?"
"Perjalanan ini... bukan tentang cilok, Mbul. Ini tentang pencarian jati diri."
"Kalau bisa nemu cilok sekalian mah, kenapa enggak."
Dan begitulah, Choky dan Mbul berangkat lagi. Menuju timur. Menuju sungai yang entah membawa mereka pulang, atau makin nyungsep ke tempat absurd lainnya. Tapi satu hal yang pasti: selama ada kaki, dan Mbul nggak rewel soal camilan, mereka akan terus jalan.
Dengan perut lapar, semangat setengah, dan logika yang udah ditinggal di halte tadi, petualangan Choky berlanjut.
---
Bagian 8: Ikan Asin, Sapu Ijuk, dan Teman Baru
Kami lapar.
Dan ikan asin adalah benda sakral yang aromanya bisa menghipnotis jiwa-jiwa nyasar macam kami.
Di sebuah rumah pinggir jalan yang temboknya retak-retak artistik dan pagar karatan yang bernuansa vintage-nanggung, tergantunglah jemuran impian: ikan asin dua baris, level menggoda setan.
Aku dan Mbul melancarkan operasi diam-diam.
Kode: “Operasi Ikan Asin Merdeka.”
Strategi: aku jadi pengalihan perhatian—mewong-weng manja di depan pintu dapur, sementara Mbul loncat ke genteng, terus jalan pelan-pelan sampai ke jemuran.
Sempurna. Hampir.
Sampai seekor kucing belang lompat dari bawah tumpukan pot bunga dan ikut ngincer ikan asin yang sama.
Mata kami bertemu.
Kami tahu: saat ini bukan waktunya saling curiga. Ini waktu untuk bersatu.
Tiga detik kemudian, kami bertiga udah lari lintang-pukang dikejar emak-emak bawa sapu ijuk sambil teriak,
"Eh dasar kucing-kucing sialan! Mentang-mentang gua lagi nyuci, pada nyolong!"
Aku, Mbul, dan si kucing belang akhirnya nyempil di balik warung kosong. Napas ngos-ngosan, tapi mulutku tetap ngunyah sisa ikan asin yang sempat kumasukkan mulut di detik terakhir.
“Worth it,” kata Mbul sambil merem-melek nikmat.
Kucing belang itu kemudian memperkenalkan dirinya. Namanya Gogon. Wajahnya sangar, tapi suara kayak bekas ikut vokal grup TK—serak-serak kecil gitu.
“Mau ke mana kalian?” tanya Gogon sambil ngelus perut.
Aku cerita seadanya. Tentang rumahku, para babuku, dan terutama... babu kecil yang suka nyuapin aku sosis meskipun dia sendiri makan mie rebus pakai air galon.
Gogon terdiam.
Lalu dia cerita. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasa cerita orang lain bisa bikin tenggorokanku mleyot.
“Dulu... gua juga kucing rumahan,” katanya pelan.
“Babu gua, nenek-nenek gitu, sayang banget sama gua. Tiap malam, gua tidur di pelukannya. Gak pernah kehujanan. Gak pernah kelaparan.”
Aku dan Mbul saling pandang.
Lalu Gogon lanjut, “Sampai suatu hari... gua main kejauhan. Ngerasa jagoan, ngerasa bisa pulang kapan aja. Tapi hari itu hujan turun. Deres banget. Semua jejak hilang. Bau rumah gua hilang.”
Dia mengangkat kepala, tatapannya kosong. “Dan gua gak pernah nemu jalan pulang lagi... Bahkan sekarang, gua lupa bau babuku. Gua cuma inget tangannya keriput dan suka elus dagu gua waktu gua ngorok.”
Aku diem. Mbul diem.
Angin sore lewat begitu aja, tapi di dalam dada, rasanya kayak dilempar kenangan yang baunya udah basi tapi tetap manis.
Dan saat itu, sesuatu dalam diriku bangkit lagi.
Keinginan. Bukan cuma buat makan enak, atau tidur di tempat kering. Tapi pulang.
Pulang ke mereka yang meskipun nyebelin, suka bentak-bentak kalau aku naik ke meja makan, tapi juga yang kalau aku sakit langsung panik kayak anaknya demam 40 derajat.
“Aku harus pulang,” kataku lirih.
Mbul menatapku sambil ngulet, “Iya, tapi jangan sekarang. Kasih aku lima menit. Ikan asin ini keras banget.”
Kami berdua pamit sama Gogon. Dia cuma senyum dan ngangguk.
“Semoga lo gak kayak gua, Choky. Jangan sampe lo lupa bau rumah lo.”
Dan kami melangkah lagi. Menuju arah timur. Menuju sungai yang katanya gak jauh lagi, walaupun definisi “gak jauh” buat manusia dan kucing liar itu dua hal yang beda dimensi.
Tapi aku gak sendiri.
Mbul ikut. Mbul aneh. Kocak. Kadang absurd. Tapi bisa diajak kerja sama. Dan meskipun dia gak pernah bilang kenapa dia ikut aku terus, aku seneng dia ada.
Karena perjalanan jadi lebih ringan kalau ada yang nemenin ngelawak... dan bagi-bagi ikan asin.
---
Bagian 9: Malam, Preket, dan Sungai yang Terlalu Luas untuk Sok Kucing Amfibi
Malam itu tenang.
Langit bersih. Bulan nongkrong pas di atas pohon waru yang miring ke kiri kayak lagi ngulet. Angin lembut nyapu bulu-buluku yang mulai agak awut-awutan karena hidup jalanan yang keras tapi kaya pengalaman.
Kami jalan berdua di pinggir jalan setapak yang entah masih di peta atau nggak.
Mbul diem aja dari tadi. Tumben gak ngoceh.
Akhirnya aku buka suara.
“Mbul…”
Dia nengok sambil ngantuk.
“Hm?”
“Gue cuma mau bilang makasih, lo udah nemenin gue sejauh ini.”
“Heh, sentimentil lo.”
Aku senyum dikit.
“Gue serius. Lo tuh bisa aja balik ke wilayah lo, tempat lo bebas, banyak makanan, banyak target buat lo sambit, tapi lo malah milih ikut gue.”
Mbul ngulet sambil tetap jalan,
“Gue cuma penasaran aja sama rumah lo. Sama babu lo. Penasaran, gimana rasanya punya tempat buat pulang. Padahal... lebih merdeka jadi preket.”
Aku berhenti.
“Preket?”
“Iya. Free cat. Kucing merdeka. Kalau manusia kan freeman—preman. Nah, kita preket.”
Aku mikir bentar.
“Oooooh… Jadi... preman versi kucing itu preket?”
Mbul angguk mantap,
“Lo baru sadar? Dunia ini luas, bro. Filosofi liar tuh ada di mana-mana.”
Aku ngelirik dia,
“Lo emang kadang-kadang, Mbul.”
“Iya. Kadang-kadang pinter. Kadang-kadang ngaco. Kadang-kadang lapar.”
Kami ketawa pelan.
Tapi perut tetap lapar. Ketawa gak bisa dijadikan lauk.
Dan akhirnya, kami sampai di bibir sungai.
Lebar. Dalam. Airnya tenang tapi gelap. Gak ada jembatan. Cuma ada bulan di atas, ngaca di permukaan air kayak lagi selfie.
Aku berdiri di pinggir, nyoba mengukur pakai tatapan.
“Kalau gue loncat, kira-kira bisa nyampe gak ya?”
Mbul ikut ngintip ke bawah.
“Lo loncat? Kaki lo aja pendek. Paling nyemplung, terus ngambang kayak onigiri gagal.”
“Kira-kira ada buaya gak ya, Mbul?”
Mbul ngelirik aku dengan wajah serius, lalu jawab,
“Mana ada buaya di kota gini... palingan cuma Godzilla.”
Aku diem.
Bukan karena percaya. Tapi karena... itu jawaban yang gak ada hubungannya sama logika.
Akhirnya kami putuskan untuk menyusuri pinggiran sungai.
Nyari jembatan.
Atau rakit.
Atau... kalau Tuhan berkenan, mungkin nemu perahu bocor yang lagi istirahat.
Perjalanan belum selesai. Tapi setidaknya, malam itu kami tidak sendiri.
Ada bulan.
Ada angin.
Dan ada Mbul si preket yang kadang tolol, kadang bijak, dan kadang-kadang... bikin gue merasa gak separah itu nasib gue.
---
Bagian 10: Jembatan, Sosis, dan Air Mata yang Ternyata Cuma Keringat Ketek Mbul
Akhirnya.
Setelah jalan kaki sekian kilo, sekian detik, sekian langkah, dan sekian banyak obrolan gak penting tentang filosofi preket dan Godzilla sungai...
Kami lihat itu: JEMBATAN.
Bukan jembatan gantung. Bukan jembatan cinta. Tapi jembatan beton biasa dengan sedikit lumut dan tulisan “ZAKI WAS HERE 2004” di pagar besinya.
Entah siapa Zaki. Tapi dia lebih dulu sampai sini dari kami. Mungkin dia preket juga.
Kami jalan cepat.
Angin malam nyatu sama bau jembatan: agak karatan, agak lembap, dan sedikit... sosis?
“Mbul… lo cium gak tuh?”
“Cium? Ini bau sorga, bro!”
Ternyata di seberang jembatan ada abang jualan sosis.
Sosis rasa sapi. Sosis yang bikin Mbul kehilangan akal, harga diri, dan gravitasi.
Dan bener aja...
Mbul langsung loncat.
Kayak kucing kerasukan Doraemon yang baru nemu pintu ke mana saja.
Dia gas, lompat ke meja jualan, dan… “HAP!”
Dia gigit sosis satu biji.
“WOI KUCING GILA!”
Teriak si abang sosis, lalu...
DOR!
Tendangan level Ronaldo Piala Dunia.
Aku lihat Mbul melayang di udara.
Slow motion.
Sosis lepas dari mulutnya.
Badan muter dua kali.
Ekornya kayak penunjuk arah kompas.
Dan akhirnya...
BYUUUUUUR!
Dia jatuh di sungai.
“MBUUUUUUUUL!!!”
Aku panik.
Aku lari.
Aku lompat ke arah jatuhnya Mbul.
Tapi arus sungai cepat.
Gelap.
Cuma ada sampah lewat—plastik kresek, sandal jepit jomblo, dan satu tutup ember.
Mbul gak kelihatan.
Aku lihat ke sekeliling.
Gak ada suara. Gak ada gerakan.
Gak ada Mbul.
Aku terduduk.
Empat kakiku menapak tanah, kayak biasa, tapi kali ini... ada maknanya.
Aku bersimpuh.
Gak peduli ada daun kering nempel di pantat.
Hatiku... kayak dikerok pake kikir kuku.
Mbul… preket absurd itu… sahabat satu-satunya di perjalanan ini… hilang.
Aku lari kecil di pinggir sungai.
Nyari jejak, suara, apa aja.
Gak nemu.
Sampai akhirnya aku berhenti. Lemas.
Dan... tiba-tiba...
“Woy... lari pelan kenapa? Gue kejar dari tadi, tauk. Bantuin gue ngeringin bulu. Ketek gue basah... gak enak, Cok!”
Aku nengok.
MBUL.
Basah kuyup. Bau sosis setengah basi. Tapi hidup.
Aku gak mikir panjang.
Langsung tendang dia.
Tendangan salto spesial.
“LO BIKIN GUE CEMAS, TAU GAK!?”
Mbul ketawa.
Aku hampir nangis, tapi inget gengsi.
“Lain kali, jangan main nyebur. Gue kira lo tenggelam!”
“Gue juga kira gue tenggelam. Tapi ternyata... gue bisa berenang kalau kepepet.”
“Lo tuh makhluk aneh.”
“Dan lo terlalu sayang sama gue.”
Aku pura-pura garuk kuping.
Padahal... iya.
---
Perjalanan belum selesai. Tapi malam itu, aku tahu satu hal:
Kadang, persahabatan tumbuh bukan dari kesamaan, tapi dari kekonyolan yang dibagi sama-sama.
Bagian 11: Pulangnya Dua Preket dan Beo Tak Tahu Diri
Pagi menyapa kami kayak emak yang buka tirai jendela sambil bilang,
“Bangun, udah siang! Jangan jadi kucing pengangguran!”
Kami lanjut jalan, zig-zag lewat RT yang mirip labirin—dari gang sempit bau gorengan, sampai perumahan rapi yang tiap pagarnya punya tulisan "AWAS ANJING GALAK" tapi yang keluar malah kucing ceking.
Dan tiba-tiba...
“Mbul… lo cium gak bau ini?”
“Bau apa? Bau bekas dosa?”
“Bukan. Ini… bau pot bunga babu betina… bau sandal jepit biru... bau rumah…”
Aku langsung lari kecil. Ekor tegak. Hidung kembang-kempis.
Itu dia... rumahku. Rumah kami.
Masih tertutup. Tapi baunya gak salah.
Aku ngeong. Pelan. Khidmat. Penuh rasa.
Salam khas anak hilang yang akhirnya pulang.
Dan dari dalam rumah...
“MA… PA… CHOKY PULANG!!”
“DAN DIA BAWA TEMEN!!”
Pintu dibuka. Babu kecil keluar.
Matanya berbinar.
Tangannya terbuka.
Dan... dia gak lari ke arahku, tapi ke arah Mbul.
“Ih gemoy banget! Lucu banget kamu! Lucu banget! Mau tinggal di sini aja ya? Ya? Ya???”
...aku dilupakan sejenak.
Tapi tak apa. Aku tetap raja di rumah ini.
Kami masuk.
Akhirnya... bisa tidur tenang.
Di bawah kipas angin. Di atas karpet. Dengan dada lega dan perut kenyang.
Sekarang kami bukan preket lagi.
Kami domestik.
Kami anak babu.
Kami sudah tobat nyolong ikan...
(Kecuali kalau ikannya nganggur di atas meja dan aromanya nyucuk hidung. Ya namanya juga iman, kadang tebal, kadang ketuker sama tisu basah.)
Warga sekitar sih sempat demo.
Katanya, dua kucing abu-abu dan hitam putih ini udah terlalu rusuh.
Bikin jemuran jatuh, nyolong telur puyuh, dan ngebangunin bayi tetangga jam tiga subuh karena duel di genteng.
Tapi babu kami bela kami.
Dia bilang:
“Mereka cuma anak-anak. Tapi anak-anak yang penuh kasih sayang.”
Kami percaya.
Karena tiap kali kami pup di pot bunga, dia masih tetap nyuapin kami makan malam.
---
Dan pas kami lagi santai di atas genteng...
Tiba-tiba...
“DIIIIHHH… ANAK BABU SEKARANG UDAH JADI KUCING RUMAH!”
Itu suara Beo.
Hitam, bawel, dan gak punya empati.
Beo yang katanya “makhluk bebas” tapi tiap malam parkirnya di atap rumah kami juga.
Dia suka ngerjain kami.
Kadang niru suara sapu jatoh.
Kadang suara toples.
Kadang jerit ibu-ibu, “AWAAAAASSS!!!”
Bikin Mbul kaget sampe lompat ke ember bekas cat.
Kadang dia juga suka teriak gak jelas.
“SELAMAT PAGIIII!! ADA ORANG DI RUMAAAAHHH??!!”
Atau,
“AWAS ADA MALING IKAN ASIN!!”
Dan anehnya, tiap kali dia teriak “Maling ikan asin”, Choky refleks ngumpet.
Ya... trauma itu nyata.
Tapi meskipun mulutnya bawel, Beo gak pernah beneran pergi.
Dia tetap di situ.
Kami tetap di sini.
---
Dan begitulah…
Perjalanan dua preket berakhir di rumah yang sama, bersama babu kecil dan satu Beo yang lupa diri.
Akhir yang tenang...
...walau kadang masih rusuh.
Tapi itu rumah.
Dan rumah... bukan soal tempat. Tapi siapa yang teriak, “Ikan asin ilang lagi!!!” dan tetap masak makan malam buat kita.
(END)
---
***
DISCLAIMER HAK CIPTA
Seluruh cerita pendek yang diposting di website www.iqbalnana.com merupakan karya orisinal yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku. Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh pemilik dan penulis situs ini.
Dilarang keras untuk:
1. Merepost (copy-paste) sebagian atau seluruh isi cerita ke platform lain tanpa izin tertulis dari pemilik situs.
2. Memperjualbelikan cerita ini dalam bentuk buku, e-book, video, audio, atau format lainnya tanpa izin resmi.
3. Menggunakan isi cerita untuk kepentingan komersial tanpa perjanjian dan persetujuan dari penulis.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan tindakan hukum sesuai peraturan yang berlaku. Jika Anda menemukan kasus pelanggaran hak cipta terkait karya di website ini, silakan hubungi pihak pengelola situs untuk tindakan lebih lanjut.
Terima kasih telah mendukung karya orisinal dan menghormati hak cipta.
***